Modernisasi politik di Indonesia dalam beberapa aspek tertentu telah menimbulkan sekularisasi politik. Menariknya, dalam negara Indonesia yang berideologi Pancasila ini, proses sekularisasi ini tidak akan mengarah kepada negara sekuler. Lebih jauh, hubungan antara agama dan negara di Indonesia merupakan hubungan yang berbasis pada simbiosis mutualisme. Dengan demikian, relasi agama dan negara dalam konteks Indonesia tidak sepenuhnya disatukan dan tidak pula sepenuhnya dipisah.
Inilah gagasan utama yang ditegaskan oleh Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., guru besar UIN Syarif Hidayatullah, dalam ngaji kepemimpinan yang diselenggarakan oleh Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy pada Rabu (13/04/2022).
Dalam mengawali diskusi, Prof. Dr. Salman Maggalatung menyebutkan bahwa al-Quran dan Hadis merupakan dua pusaka besar yang harus diamalkan dalam beragama sedangkan Pancasila dan UUD 45 merupakan dua pusaka besar dalam bernegara. Meminjam teori al-Ghazali, Prof. Salman menjelaskan bahwa orang yang tidak mengenal dua pusaka besar dalam beragama: al-Quran dan Hadis layak disebut sebagai orang yang becus beragama dan orang yang tidak mengenal dua pusaka besar dalam bernegara: Pancasila dan UUD 45 layak disebut sebagai orang yang tidak bisa bernegara dengan baik.
Setelah menjelaskan dua pusaka besar dalam beragama dan bernegara, Prof. Salman Maggalatung secara lebih jauh menjelaskan empat teori relasi agama dan negara yang berkembang di dunia sampai saat ini: pertama, paham integralistik, paham yang menyatukan agama dan negara; kedua, paham komunis, yakni paham yang meniadakan agama dalam negara. Dalam paham ini, agama tidak diberi tempat pada tataran negara; ketiga, paham sekularisme, yakni paham yang menyatakan bahwa agama dan negara harus dipisah, dimana masing-masingnya memiliki ranah tersendiri; keempat, paham simbiotik, yakni paham yang menyatakan bahwa agama dan negara merupakan dua entitas yang bisa saling bersinggungan dan saling menguntungkan.
“Inilah empat paham relasi agama dan negara yang berkembang di dunia saat ini,” papar Prof. Salman. Setelah menjelaskan empat teori ini, Prof. Salman kemudian melanjutkan pemaparannya dengan mengajukan sebuah pertanyaan: bagaimana posisi Indonesia dalam empat teori mengenai relasi agama dan negara?
Mengutip Gus Dur, Prof. Salman menegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler. “Jadi meski berpenduduk Muslim terbesar sedunia, Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Hanya agama menjadi roh dan jiwa Indonesia dalam bernegara. Dan inilah keunikan negara kita ini yang perlu kita jaga dan kita rawat dengan baik,” paparnya.
“Indonesia dengan kemajemukan masyarakatnya merupakan negara yang harus dirawat dengan baik. Jika salah urus, kemajemukan yang merupakan rahmat bisa berbalik menjadi petaka,” pungkas Prof. Salman dalam diskusi tersebut.
Simak pemaparan lengkapnya dalam video berikut ini: