Hafid Abbas
Ketua Asosiasi Pendidikan Masyarakat Indonesia
Ketika sebagai Sekjen PBB, Kofi Annan (2005) pernah menuturkan: “Tidak ada ketenteraman tanpa pembangunan. Tidak ada pembangunan tanpa ketenteraman. Tidak ada keduanya, tanpa hak asasi manusia”
Merujuk pada tesis Kofi Annan tersebut, Bank Dunia dalam publikasinya Indonesia Rising Divide (2016) memperlihatkan Indonesia dalam bahaya perpecahan dan keterpurukan. Menurut Bank Dunia, ada empat penyebab yang mengancam keselamatan bangsa ini di masa depan. Pertama, adanya ketidaksamaam pemberian kesempatan kepada setiap warga negara untuk mengembangkan kemapuannya untuk maju dan sejahtera. Ada kelompok yang mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk maju di bidang ekonomi, sosial dan politik. Sebaliknya ada yang tersingkirkan dan tertinggal.
Ke dua, kelompok masyarakat miskin semakin tertinggal dan semakin miskin karena tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk bersaing dengan kelas masyarakat atas di sektor ekonomi modern. Akibatnya, dengan berbekal pengetahuan dan kemampuan yang terbatas mereka hanya dapat diserap di sektor ekonomi informal yang berupah rendah. Selanjutnya, kesenjangan pendapatan mereka dengan kelompok etnis minoritas yang kaya raya semakin ekstrim.
Ke tiga, kosentrasi peredaran uang dan modal di negeri ini hanya berputar di beberapa orang atau beberapa perusahaan kelompok minoritas itu. Akibatnya, seperti dilaporan oleh Kementerian BUMN (2019) terdapat 56.534.592 UMKM (99,99 persen) tidak tersentuh oleh bantuan perbankkan. Lebih-lebih mereka yang miskin seperti petani miskin, nelayan miskin, dan sebagaianya tentu tidak tersentuh dengan bantuan perbankan.
Ke empat, yang mengagetkan Bank Dunia sehingga Indonesia dinilai lapuk dari dalam ialah orang miskin yang mayoritas ini tidak memiliki tabungan untuk membiayai pendidikan anak dan keturunannya, dan juga tidak memiliki tabungan untuk biaya ksehatan di hari tuanya (hal. 28).
Akibatnya, dengan ke empat faktor itulah, Indonesia semakin lama semakin melebar keterbelahan dan keterpurukannya hingga akhirnya pecah.
Anehnya lagi, seperti dikeluhkan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa 80 persen aset orang-orang kaya Indonesia disembunyikan di Singapura (Straits Times, 21/7/2016), dan juga Presiden Jokowi mengeluhkan Rp 11.000 triliun duit orang kaya ini juga disembunyikan di berbagai negara (Setkab, 6/12/2016).
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) amat merisaukan kenyataan itu. Ia menuturkan “Kesenjangan di Indonesia cukup berbahaya dibanding di negara lain. Di Thailand yang kaya dan miskin sama agamanya. Di Filipina juga begitu, baik yang kaya maupun miskin memiliki agama yang sama. Sementara di Indonesia yang kaya dan miskin berbeda agama” (Warta Ekonomi, 26/02/2017).
Lebih lanjut JK menjelaskan di Indonesia sebagian besar orang yang kaya adalah warga keturunan yang beragama Khonghuchu maupun Kristen. Sedangkan orang yang miskin sebagian besar Islam dan ada juga yang kristen.
LaNyalla: Ketidakadilan sumber Kemiskinan
Kembali kepada tesis Kofi Annan bahwa suatu bangsa tidak akan hidup tenteram dan tidak akan bisa membangun jika manusianya tidak dimanusiakan, tidak diberi keadilan. Bagi Indonesia, seperti dilaporkan Bank Dunia, negara ini tidak hadir memberi keadilan kepada warganya.
LaNyalla menilai, titik awal keterpurukan dan kemiskinan massal itu bersumber dari ketidakadilan yang bersumber dari kesalahan kebijakan Politik Ekonomi negara ini. Dan kesalahan ini semakin mendapatkan payung hukum setelah bangsa ini melakukan Amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam. Mazhab Ekonomi Nasional Indonesia telah berubah dari disain awal yang dirumuskan para pendiri bangsa ini (Haluan, 15/6/2022)
Mazhab Ekonomi Indonesia sebenarnya sudah didisain dengan sangat tuntas oleh para pendiri bangsa ini. Bahkan menjadi cita-cita nasional, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan hakikat dari cita-cita lahirnya bangsa ini adalah untuk mewujudkan Sila Pamungkas dari Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Para pendiri bangsa, khususnya Muhammad Hatta, menyusun redaksi Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dengan sangat cermat. Bahkan Pasal tersebut, dalam Naskah Asli UUD 1945 ditulis dalam Bab Kesejahteraan Sosial. Artinya jelas, negara ini sebenarnya menganut sistem negara kesejahteraan yang berkeadilan, atau Welfare Justice State. Penguasaan negara terhadap sumber daya alam didasarkan kepada kedaulatan negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, bukan untuk kelompok minoritas tertentu.
Menurut LaNyalla, salah satu faktor pemicu masuknya Oligarki Ekonomi untuk menyandera kekuasaan dan memaksa kekuasaan berpihak kepada mereka adalah adanya aturan Presidential Threshold dalam proses pemilihan pemimpin nasional.
Dari situlah biaya konsolidasi partai politik yang dipaksa harus berkoalisi untuk dapat mengusung Capres dan Cawapres menjadi mahal. Kemahalan itulah yang menjadi pintu masuknya Oligarki Ekonomi untuk membiayai sekaligus menyandera kekuasaan.
Karenanya, sebelum terlambat, Presidential Threshold 20 persen harus segera dihapus menjadi nol persen, dan UUD 1945 harus diamandemen lagi sesuai dengan semangat mukaddimahnya atau kembali ke UUD 1945 yang asli sebelum diamademen pada 1999.
APENMASI dan Perang Melawan Kemiskinan
Sesuai dengan pandangan Kofi Annan yang mengharuskan kehadiran pembangunan, ketenteraman dan HAM secara berimbang dan terintegrasi secara harmonis di setiap lini kehidupan satu bangsa, dan urgensi mencegah membesarnya Oligarkarki Ekonomi dan Oligarki Politi, Asosiasi Pendidikan Masyarakat Indonesia (APENMASI) yang tersebar di sejumlah PTN dan PTS telah menghadirkan agenda strategisnya yang berfokus pada penanggulangan kemiskinan.
APENMASI adalah wadah para pakar, peneliti, ilmuwan, dan praktisi pendidikan masyarakat yang tersebar di berbagai PTN dan PTS di seluruh tanah air yang telah memberi perhatian tersendiri untuk terus berkarya melalui kegiatan tri-dharmanya untuk membebaskan bangsa ini dari segala bentuk kemiskinan dan keterbelakangannya.
APENMASI dengan agenda strategisnya telah dicanangkan sebagai gerakan nasional oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden pada 6 Maret 2019. Pada Agenda itu telah diindentifikasi 18 kelompok sasaran masyarakat yang dinilai memiliki tingkat kerawanan sosial dan ekonomi yang tinggi, seperti petani miskin, masyakarat adat, buruh migran, anak dengan gizi buruk, dsb. Dari jumlah itu terdapat 128 agenda strategis nyata yang telah dan akan terus dilaksanakan dalam berbagai kegiatan tri-dharmanya untuk membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinannya.
Agenda ini dapat diadopsi oleh seluruh Pemda Kabupaten/Kota, dan Provinsi untuk membebaskan masyarakatnya dari kemiskinan dengan bekerjasama dengan PTN dan PTS setempat.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia (Pasal 31 Ayat 5).
Dengan peran itu, kehadiran 4593 PT (Dikti, 2020) haruslah menjadi alat pemersatu bangsa karena menghasilkan sumber daya insani unggul yang menguasai ilmu dan teknologi dan menghasilkan karya-karya inovatif bagi pemajuan peradaban modern dan pemuliaan kemanusiaan. PT haruslah menjadi “Otak Negara” untuk membebaskan bangsa ini dari segala bentuk keterbelakangannya.
Akhirnya, APENMASI dengan agenda strategisnya, kini terus memperkuat kelembagaannya di semua PTN dan PTS yang memiliki Program Studi Pendidikan Masyarakat atau Program Studi sejenis dengan menjalin kerjasama dengan semua pihak terkait di pusat dan daerah untuk membebaskan masyarakat sekitarnya dari segala bentuk keterbelakangan. Melalui Program Studi ini, masyarakat miskin dan tertinggal telah dijadikan sebagai laboratorium sosialnya seperti halnya Pusat Studi yang telah diinisiasi oleh Muhammad Yunus di Universitas Dhaka, Bangladesh untuk membebaskan warganya dari kemiskinan yang telah mengantarnya mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian pada 2006.